MAKALAH
KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM
Dipresentasikan
dalam Mata Kuliah
Islam dan
Kebudayaan Jawa
yang diampu oleh:
M.Rikza Chamami, MSI
Disusun Oleh :
Muflihah (113911005)
Puji Arianti (113911007)
Machya Afiyati Ulya (113911025)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Dia tidak cukup
hanya mencari makanan, pakaian, dan perumahan, walaupun kebutuhan material ini
penting. Manusia membutuhkan keyakinan atau sesuatu yang dipercayai.
Suku-suku bangsa
Indonesia dan khususnya suku Jawa. Sebelum kedatangan Hinduisme telah hidup
teratur dengan religi animisme dan dinamisme yang dijadikan akar
spiritualitasnya, dan hukum adat yang mereka jadikan sebagai pranata kehidupan
sosial mereka.Religi animisme-dinamisme merupakan akar budaya yang
dimiliki bangsa Indonesia khususnya suku Jawa, sehingga mampu berdiri kokoh
walaupun mendapat pengaruh dan harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan
yang telah berkembang maju.
II.
PERMASALAHAN
A.
Bagaimana masa pra sejarah jawa ?
B.
Bagaimana tentang kepercayaan
animisme jawa ?
C.
Bagaimana tentang kepercayaan
dinamisme jawa ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Masa
Pra Sejarah Jawa
Jawa adalah sebuah pulau dari kepulauan Indonesia yang
paling padat penduduknya, yang terbagi ke dalam beberapa daerah
diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Djogjakarta dll. dan di setiap
daerah mempunyai karakter budaya yang berbeda;, tetapi perbedaan itu tidak
begitu jauh karena dilahirkan masih dalam satu kepulauan yaitu pulau Jawa.
Masyarakat jawa
dipercaya memiliki kebudayaan khas dan hubungan erat. Masyarakat jawa atau wong
jowo menunjuk pada masyarakat yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai
orang-orang yang menjujung tinggi sifat-sifat luhur dan kebudayaan. (termasuk
berbagai macam seni, sastra dan kepercayaan) yang dimiliki oleh masyarakat
jawa. Hal ini meliputi mereka, baik secara geographical maupun anthropological,
termasuk bagian dari suatu bangsa atau daerah tertentu, maupun mereka yang
keterkaitannya dengan kebudayaan jawa hanya bersifat ideological (yaitu orang
Belanda, Inggris, atau bangsa lainnya yang mendukung kebudayaan jawa).
Masyarakat yang geographical atau anthropological termasuk bagian dari jawa,
tetapi tidak atau belum memiliki sifat-sifat luhur dan tidak atau belum
menjujung tinggi kebudayaan jawa sehingga sering kali disebut dengan istilah
durung jawa, orang jawa dulu jawa dan lain-lain. Dalam konteks Indonesia,
kebudayaan jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting
karena dimiliki arti penting bagi kebudayaan jawa karena mayoritas masyarakat
jawa memeluk agama Islam, dengan demikian hubungan nilai-nilai Islam dengan
kebudayaan jawa menjadi menarik karena keberadaan Islam dan kebudayaan Islam
dan kebudayaan jawa yang cukup dominan pada bangsa Indonesia.
Jauh
sebelum Islam datang masyarakat jawa telah memiliki pandangan hidup yang cukup
mapan. Dalam bidang keagamaan masyarakat jawa pra Hindu telah memiliki
kesadaran keagamaan. Kesadaran keagamaan tersebut tampak
pada keyakinan masyarakat jawa terhadap kekuatan-kekuatan adikodrati yang
dapat mengatasi segala hal. Keyakinan ini mengantarkan masyarakat jawa pada
kesadaran religiusitas.
Masyarakat
jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikuti oleh norma-norma hidup
karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada cirri-ciri
masyarakat jawa secara kekerabatan.
Sistem
hidup kekeluargaan di jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat jawa. Jika
kita memperhatikan kosa kata kekerabatan, nampaklah istilah yang sama dipakai
untuk menyebut moyang, baik dalam tingkat ketiga maupun keturunan pada generasi
ketiga, dengan menggunakan acuan kata “aku”, jadi buyut bias berarti ayahnya
kakek maupun anaknya cucu, dan seterusnya (wareng,
udeg-udeg, gantung, siwur, gropak sente,debog bosok).sampai generasi
kesepuluh dimana galih asem dapat menunjukkan baik nenek moyang maupun
keturunan jauh. Dengan demikian seluruh susunan kerabat secara berurutan tak
terhingga dapat terbayang dalam cermin yang berhadapan.
Di
Jawa anak-anak sering dibesarkan oleh saudara-saudara, orang tua mereka bahkan
oleh tetangga, dan anak acap kali diangkat. Hokum adat menuntut setiap orang
laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja
untuk membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu, seperti mengerjakan tanah
pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, dan yang lainnya semboyan
saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong
sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam
sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan mendasar. Tanah
lahan pertanian sampai waktu panen diselenggarakan secara gotong royong, saling
menolong. Hal ini masih berlaku pada saat ini dalam system musyawarah adat desa
yaitu disebut renbug desa.[1]
B.
Kepercayaan
Animisme Jawa
Seperti
lazimnya manusia yang hidup di tengah alam yang bebas para penghuni pulau jawa
adalah para yang handal di alam belantara. Mereka hidup mangandalkan ketahanan
fisik dan keberaniannya dalam berjuang melawan keganasan alam.
Mereka memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan berburu binatang di hutan,
ditengah kehidupan yang alamiah ini mereka mempelajari panas dan dingin, hujan
dan kekeringan, angin dan badai, terang dan gelap, dan semua yang terjadi
menjadi perhatian mereka secara natural. Dengan terus menerus mempelajari
gejala alam serta kekuatan yang tersembunyi di baliknya, akhirnya mereka mampu
mengenal dan memahami kekuatannya sendiri.
Dari pergaulannya secara langsung dengan kekuatan alam
itu timbullah pemahaman baru di kalangan orang jawa, bahwa setiap gerakan,
kekuatan dan kejadian di alam ini disebabkan oleh makhluk-makhluk yang di ada
di sekitarnya. Anggapan adanya kekuatan alam dan roh
makhluk halus itu disebut dengan animisme.
Keyakinan
animisme dalam masyarakat ini, menurut penjelasan Suyono terbagi dalam dua
macam yaitu fetitisme dan spiritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada
benda-benda berwujud yang tampak memiliki jiwa atau roh, sedangkan spiritisme
adalah pemujaan terhadap roh-roh leluhur dan makhluk hidup lainnya yang ada di
alam ini.[2]
Ciri-ciri
khas animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan roh-roh dan daya ghaib yang
bersifat aktif. Prinsip roh aktif adalah kepercayaan animisme mengajarkan bahwa
roh-roh yang mati tetap hidup dan mempunyai kekuatan seperti dewa, yang dapat
menyelamatkan seseorang bahkan sebaliknya. [3]
Ada
juga yang mengatakan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh pada
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan bahkan pada manusia itu sendiri. Mereka
menganggap roh-roh itu mempunyai kekuatan yang melebihi kekuatan manusia,
sehingga mereka menyembahnya dengan cara melakukan upacara yang disertai dengan
penyajian sesaji.
Pertama, pelaksanaan
upacara dilaksanakan masyarakat jawa adalah agar keluarganya terhindar dari roh
yang jahat. Arwah nenek moyang dianggap lebih sakti dan banyak pengalaman, sehingga mereka beranggapan perlu
dimintai petunjuk dan berkah. Sebagai kelengkapan upacara mereka menyiapkan
sesaji serta membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya.
Kedua,
pemberian sesaji atau sesajen
yang ditujukan kepada mbahe, danyang yang berdiam di pohon-pohon besar atau di
sendang-sendang, di kuburan tua dari tokoh-tokoh terkenal pada masa lampau atau
tempat tersebut merupakan tempat yang dianggap angker. Agar
dapat menarik roh-roh tersebut mereka memasang sesaji berupa makanan dan bunga. Semua itu dilakukan hanya
memohon perlindungan dari yang mbahureksa
supaya terhindar dari makhluk halus yang jahat.[4]
Dalam
religi jawa ini juga terdapat adanya kepercayaan bahwa manusia mampu mengadakan
kontak langsung dengan alam arwah. Bahkan manusia mampu mengendalikan alam
arwah tersebut, menggunakan kekuatan ghaib untuk kepentingan duniawiyah dan
spiritual mereka. Bentuk kontak dengan roh bagi masyarakat jawa diekspresikan
dengan adanya upacara-upacara ritual pemuja terhadap sesuatu yang dianggap
keramat. Upacara
ritual tersebut diwujudkan dengan adanya perlengkapan upacara yang berupa
sesaji, pembacaan mantra-mantra dan menggunakan mediator dukun atau orang-orang yang
dianggap memiliki tingkat kemampuan spiritual tertentu.[5]
Keyakinan
semacam itu terus terpelihara dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa, bahkan hingga
saat ini masih dapat disaksikan berbagai
ritual yang jelas merupakan peninggalan zaman tersebut. Keyakinan yang demikian
dalam kepustakaan budaya disebut dengan “kejawen”, yaitu keyakinan atau ritual
campuran antara agama formal dan keyakinan yang mengakar kuat di kalangan
masyarakat jawa. Sebagai contohnya, banyak orang yang menganut agama Islam,
tapi dalam prakteknya keberagamaannya tidak meninggalkan keyakinan warisan
nenek moyang mereka. Hal itu bisa saja karena pengetahuan mereka yang dangkal
terhadap Islam atau bisa juga
itu memang berkat dari hasil pendalamannya terhadap keyakinan warisan tersebut
dan Islam secara integral.[6]
C.
Kepercayaan
Dinamisme Jawa
Masyarakat
jawa mempercayai bahwa apa yang telah
mereka bangun adalah hasil
dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian
tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka
masih mempercayai kekuatan adikodrati di balik semua kekuatan alam itu.
Selanjutnya, sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan
keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi
kekuatan alam semesta atau jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua
kekuatan alam yang mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat
dikalahkan.
Usaha yang ditempuh adalah dengan jalan laku prihatin
atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling
(mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang
serba putih seperti nasi putih, minum air tawar), ngasrep (hanya makan
makanan dan minum minuman yang rasanya tawar, tanpa gula dan garam), dan
berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat
adalah melakukan pati geni, yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak
melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Usaha untuk
menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan
benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni
berupa keris, tombak, songsong jene,
batu akik, akar bahar dan kuku macan.
Adapun pada agama “primitif” sebagai “agama” orang Jawa
sebelum kedatangan agama hindu ataupun agama Budha, inti kepercayaannya adalah
percaya pada daya kekuatan-kekuatan ghaib yang menempati pada setiap benda
(Dinamisme) serta percaya kepada roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati
pada suatu benda ataupun makhluk-makhluk halus yang menempati pada ataupun
berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, baik benda hidup maupun mati
(Animisme).
1. Tinjauan Ekonomi
Masyarakat Jawa
lama dalam menggali ekonomi masih banyak yang menjalankan tradisi golek
pasugihan, dimana ada pendukung atau masyarakat yang banyak dan kuat, banyak
pula tempat-tempat yang dikeramatkan dan dianggap bermanfaat untuk mencari
ketenangan dalam rangka mencapai inspirasi, intuisi, dan aspirasi untuk memulai
suatu pekerjaan, tempat-tempat yang dimaksud seperti Gunung Srandil, gunung
Kemukus, gunung Kawi, Cunung atau makam sewu, Parang Tritis di Bantul dan
sebagainya.
Maka pentingnya
bukan pada tempat itu sendiri, tetapi dari segi ekonomi tempat itu memberikan
inspirasi, intuisi, dan aspirasi untuk suatu usaha dan lebih-lebih bagai usaha
ekonomi yang memerlukan keuletan dan pengetahuan pemasaran yang luas, disamping
itu manajemen dan perhitungan yang luas dan jangka panjang serta lain-lainnya.
Tempat-tempat itu mempunyai ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan suasana
yang dihadapi seseorang setiap harinya, hal ini karena tempat-tempat tersebut mendukung suasana alamiah, suasana
pedesaan, suasana sungai sepi, angker, dan khidmat, suasana yang mengingatkan
jasa dan kenangan seorang pahlawan, nenek moyang atau tokoh yang dikagumi, yang
itu semua dapat memberikan dan membangkitkan
inspirasi, intuisi, dan apresiasi. Hal itu menimbulkan daya dorong yang
kuat untuk belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga seseorang sukses
dalam melakukan usahanya, termasuk belajar, bekerja dan berusaha.[7]
1. Tinjauan Kesenian
Dibidang
kesenian, wayang merupakan identitas utama orang Jawa. Pertunjukan wayang
berasal, atau setidaknya terpengaruh oleh pertunjukan Tonil India purba yang
disebut Chayanarata (seperti pertunjukan bayang-bayang). Wayang melekat dalam kehidupan manusia
Jawa karena wayang merupakan ciptaan
asli orang Jawa.
Banyak tokoh-tokoh
asing yang mengamati tentang pewayangan seperti Niels Mulder, B. Scrick.W.H.
Rasers, Cliford Geertz, Benedict R.O.G. Anderson, Howard P dll. perhatian
pengamat-pengamat barat dan budaya Jawa boleh dikatakan telah bermula sejak
mereka menginjakkan kaki di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.[8]
Menurut Nicolas.J.
Krom, dalam bukunya Hindoe Jaraansche Geschidenis menyebutkan adanya beberapa
unsur karakteristik kedatangan orang
Hindu di Jawa, yang sudah ada sebelum kedatangan orang hindu di Jawa,
diantaranya:
1. Sistem
irigasi terhadap padi sawah;
2. Proses
pembuatan kain batik;
3. Gamelan;
4. Pertunjukan
wayang
Unsur-unsur budaya yang
disebutkan oleh Krom ini agaknya memang begitu mendasar dan tetap berlanjut
sampai saat inipun keempat unsur budaya tersebut masih tetap memberi ciri
karakteristik budaya Jawa, meskipun sekarang dapat pula kita temukan pada
kebudayaan-kebudayaan daerah lain, bahkan negara lain.
Dalam hubungan ini
perlu kita catat pendapat Herry Aveling yang menyebutkan bahwa sampai dengan akhir abad ke- sembilan belas,
kehidupan intelektual, kultural dan
emosional etika Jawa masih
tetap terpusat pada unsur-unsur budaya
yang mengakar kuat ke masa lalu, , yaitu:
1. Kesusastraan
yang memang memiliki daya pelestari yang
kuat terhadap gaya kebudayaan tradisional
Jawa.
2. Pertunjukan
wayang yang saat ini telah begitu berkembang dan diperhalus.
3. Batik
sebagai ekspresi seni yang halus dan indah.[9]
IV.
KESIMPULAN
Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan Jawa pra Islam menganut dua kepercayaan yaitu animisme dan
dinamisme.
Dinamisme adalah percaya terhadap kekuatan alam atau
benda-benda alam seperti batu, matahari, hujan, angin. Usaha ini ditempuh
dengan jalan laku prihatin atau merasa perih ing batin dengan cara berpuasa
mutih, ngasrrep.
Animisme yaitu percaya terhadap roh nenek moyang
dengan cara mengadakan upacara dengan menyiapkan sesaji dan bau-bauan seperti
kemenyan.
Adapun dengan kepercayaan animisme dan dinamisme
mempunyai dua tinjauan yaitu:
1. Tinjauan
ekonomi seperti mencari pesugihan
2. Tinjauan
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun, semoga dapat
bermanfaat, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah
kami yang ke depannya bisa lebih baik. Dan kami mohon maaf sapabila terdapat
kesalahan dalam pembuatan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori, Islam
& Kebudayaan Jawa,
Semarang: Gama Media, 2000.
Harjono, Saitersno
Prawiro,
Prinsip
Ekonomik Dalam Masyarakat Jawa.
Khalil, Ahmad, Islam
Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa, Malang: Sukses offset,
2008.
Sofwan, Ridin, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Semarang: Gama Media,
2004.
Sujamto,
Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara
Price, 1992.
Syukur, M. Amin, Islam
dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group, 2008.
BIODATA
Nama :
Muflihah
NIM :
113911005
Jurusan/Prodi :
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah
Tempat, Tanggal Lahir :
Pati, 24 Maret 1993
Riwayat
Pendidikan :
RA Masyithoh Desa Prawoto
MI Al-Mu’min Desa
Prawoto
MTs Sunan Prawoto Desa
Prawoto
MA NU Banat Kudus
S1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat :
Dk. Domasan Rt 2 Rw 3 Ds. Prawoto Kec. Sukolilo
Kab. Pati
Phone
number :
085740280470
facebook :
chikaa slalu tersenyum
Nama :
Puji Arianti
NIM :
113911007
Jurusan/Prodi :
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah
Tempat, Tanggal Lahir :
Bojonegoro, 29 Juni 1993
Riwayat Pendidikan : SDN Sumberharjo 1
MTs I AtTanwir
Bojonegoro
MA I AtTanwir
Bojonegoro
S1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat :Dk.
Pohkuwong RT. 22 RW 7
Ds. Sumberharjo Kec. Sumberrejo Kab. Bojonegoro Jatim
Phone Number :
085730924644
Facebook :
Pj Rianty
Nama : Machya Afiyati Ulya
NIM :113911025
Jurusan/Prodi :
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah
Tempat, Tanggal Lahir :
Grobogan, 2 Maret 1994
Riwayat
Pendidikan :
MI Manba’ul Ulum Karanglangu
Grobogan
MTs N Jeketro Grobogan
SMA N 1 Wonosegoro Boyolali
S1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Dk. Kijingan Rt/ Rw 02/04 Klitikan Kedungjati
Grobogan
Phone
number :
085799904919
facebook :
Mahya Aulia G C
[2] Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa,
Malang: Sukses offset, 2008, hlm. 44-45.
[3] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa,
Semarang: Gama Media, 2004, hlm. 17-20.
[5] M. Amin Syukur, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang:
Rasail Media Group, 2008, hlm. 45.
[6] Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa,
Malang: Sukses offset, 2008, hlm. 45-46.
[7] Saitersno
Prawiro Harjono, Prinsip Ekonomik Dalam Masyarakat Jawa, hlm. 11-13.
[8] Sujamto,
Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Price, 1992, hlm. 19-20.