Senin, 08 Juli 2013

kepurbakalaan budaya Hindu dan Islam



LAPORAN KUNJUNGAN MUSEUM RANGGAWARSITA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI





Disusun Oleh :
Muflihah                     (113911005)
Puji Ariyanti                (113911009)
Machya Afiyati U.      (113911025)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013

KEPURBAKALAAN PENINGGALAN HINDU DAN ISLAM
I.                   PENDAHULUAN
Kepercayaan masyarakat Jawa yang bertumpu pada penyembahan terhadap ruh-ruh para leluhur (animisme) dan kekuatan magis benda-benda (dinamisme) telah menjadi bagian dari hidup mereka sebelum adanya agama-agma asing yang dating (Hindu, Budha, Islam dan Nasrani). Kemudian sekitar tahun 3000 SM, masuklah orang-orang Melayu purba dari pegunungan Cina selatan melalui Vietnam. Pada abad berikutnya sekitar tahun 2000 SM dating lagi orang-orang Melayu yang sudah memiliki peradaban agak tinggi dan menganut kepercayaan atas kuasa ruh-ruh dalam kehidupan manusia. Penduduk asli pulau Jawa dan pendatang Melayu kuno inilah yang diyakini sebagai asal usul atau nenek moyang orang Jawa.
Pada jaman pra-Hindu, kontak-kontak sosial masyarakat Indonesia dengan dunia luar sudah terjadi. Kontak-kontak perdagangan dengan India, Arab, Cina, dan Persia bahkan terus berkembang. Hal itu dikarenakan pulau-pulau Indonesia bagian barat selain terletak di jalur perdagangan dari Asia Selatan ke Asia Timur juga merupakan daerah penghasil rempah-rempah, emas, kayu manis, dan produk-produk lain yang diminati di dunia perdagangan . kondisi yang demikian strategis itu menjadikan pangeran-pangeran lokal berkenalan dengan pandangan-pandangan politik dan religius luar, terutama India.
Inti pandangan politik dan religius India menyimpulkan suatu gagasan organisasi kenegaraan yang tersusun secara hierarkis dari pusat ke bagian-bagian yang terkecil. Organisasi itu tersusun hirarki dibawah wewenang dan perintah seorang raja-dewa. Gagasan itu oleh para penguasa-penguasa dikepulauan Nusantara ini dilihat sebagai wahana ideoologis yang tepat untuk melegitimasi dan memperluas wewenang mereka. Oleh karena itu, mereka kemudian memperkerjakan pendeta-pendeta Brahmani supaya dapat menarik garis nenek moyang mereka sampaikepada dewa-dewa Hindu atau mereka menyatakan diri sebagai penjelmaan Syiwa atau Wisnu. Raja-raja Jawa kemudian dikeramatkan sebagai pusat penjelmaan dewa, yaitu sebagai titisan dewa atau pembawa esensi kedewataan di dunia.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa saja yang dilihat di Museum ?
B.     Bagaimana sejarah peninggalan Museum ?
C.     Dimana letak asal peninggalan ?
D.    Apa manfaat dari peninggalan benda-benda tersebut ?
E.     Bagaimana pembuktian sejarah Agamanya ?
III.             HASIL PENGAMATAN
A.    Benda-benda yang ada  di dalam Museum
1.     Candi Gedung Songo
2.     Candi Prambanan
3.     Candi Dieng
  

4.     Masjid Menara Kudus
5.     Masjid Demak
B.     Sejarah peninggalan museum
1.      Candi Gedung Songo
Pada mulanya, candi-candi di kompleks ini ditemukan 7 candi sekitar tahun 1740 oleh Sir Thomas Stamford Raffles. Yang kemudian disebut gedung pitu, yang artinya gedung tujuh. Beberapa tahun kemudian dilakukan penelitian kembali oleh para seorang arkeolog. Ditemukan 2 candi lagi, yang kemudian terjadi perubahan nama, yaitu candi gedung sanga, karena jumlah candinya ada Sembilan.
2.      Candi Prambanan
Prambanan adalah candi terbesar dan termegah yang dibangun di Jawa kuno. Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari "Para Brahman", yang mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana.
3.      Candi Dieng
Kemampuan ilmu arsitektur dapat menghasilkan bangunan-bangunan yang mengandung nilai seni tinggi dan tidak kalah bahkan lebih kokoh dari bangunan-bangunan yang dibuat di zaman sekarang ini. Di wilayah dataran tinggi Dieng terdapat banyak candi, tercatat 19 candi, namun hanya tinggal delapan candi yang masih utuh berdiri. Umumnya penemaan candi berdasarkan nama tokoh pewayangan. Berdasarkan hasil penelitian Candi dieng dibangun sekitar abad delapan hingga Sembilan. Bahkan ada kemungkinan beberapa candi di Dieng dibuat jauh sebelum abad ke delapan.
4.      Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus sangat berkaitan dengan peran Sunan Kudus. Sebagaimana para walisongo lainnya, Sunan Kudus juga memiliki cara dalam berdakwah. Beliau dapat beradaptasi di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya Hindu dan Budha. Masjid ini didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini dapat diketahui dari inskripsi (prasasti) pada batu yang lebarnya 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid yang ditulis dalam bahasa Arab.
5.      Masjid Demak
Masjid ini merupakan masjid tertua di Jawa, yang dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sekitar abad ke-15 Masehi, raja pertama dari Kesultaan Demak, Raden Patah, mendirikan masjid ini. Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
C.     Letak asal peninggalan
1.     Candi Gedung Songo terletak di puncak gunung Ungaran, kecamatan Sumowono, Semarang, Jawa Tengah. Dalam kawasan candi gedung songo terdapat 9 kompleks candi yang letaknya tersebar di area perbukitan.
2.     Candi Prambanan
Candi ini terletak di desa Prambanan, pulau Jawa, kurang lebih 20 kilometer timur Yogyakarta, 40 kilometer barat Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.


3.     Candi Dieng
Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kabupaten Banjarnegara-Wonosobo Jawa tengah. Kumpulan candi Hindu beraliran Syiwa yang diperkirakan sampai awal abad ke-9.  Kompleks candi ini terdiri kelompok Arjuna, Gatutkaca, Dwarawati, dan kompleks candi Bima.
Di samping berupa fitur dan bangunan, di kawasan Dieng juga ditemukan berbagai benda kemindah (movable), seperti prasasti dan arca. Bahkan, penelitian baru juga mendapatkan berbagai pecahan keramik yang diduga dahulu digunakan oleh para penghuni.
Arca dari kawasan Dieng cukup unik karena sebagian di antaranya tidak ditemukan di tempat lain. Arca tersebut misalnya adalah Nandisawahanamurti, yaitu arca Dewa Siwa yang duduk di atas bahu nandi yang berbadan manusia.
4.     Masjid Menara Kudus, Masjid ini terletak di desa Kauman, kecamatan Kota kabupaten Kudus Jawa Tengah.
5.      Masjid Demak, Masjid ini terletak di desa Kauman, kabupaten Demak Jawa Tengah.

D.    Manfaat peninggalan
Dari peninggalan benda-benda yang bercorakkan agama Hindu, kami lebih mengetahui dan lebih mengerti tentang perkembangan mengenai agama Hindu khususnya, dan agama-agama lain pada umumnya.
Dengan adanya peninggalan benda-benda tersebut juga dapat dijadikan objek pariwisata, tidak hanya sebagai pariwisata namun, juga dapat menambah pengetahuan serta pengalaman. Benda-benda peninggalan tersebut juga dapat digunakan sebagai bukti bahwa Hindu pernah berkembang pesat di Indonesia.
Masjid Masjid Menara Kudus merupakan akulturasi budaya antara Jawa, Islam dan Hindu. Sehingga pengunjung dapat melihat peninggalan perpaduan antara budaya Islam dan Hindu. Selain itu masjid ini biasanya menjadi pusat keramaian pada festival dhandhangan yang diadakan warga Kudus untuk menyambut bulan Ramadan.
Masjid Demak merupakan masjid tertua di Jawa dan sampai saat ini masih digunakan sebagai tempat ibadah. Selain itu para pengunjung juga bisa berziarah ke makam sunan kalijaga yang lokasinya tidak terlalu jauh dari masjid Demak.
E.     Pembuktian sejarah agama Jawa
1.      Kebudayaan Jawa Masa Hindu
Dari semua pengamatan kami, dapat dibuktikan bahwa benda-benda tersebut merupakan corak agama Hindu. Karena peninggalan agama Hindu memiliki bentuk ratna pada puncaknya (berundak dan lancip), adapun relief yang terukir di dinding-dinding candi diambil dari kitab Hindu misalnya kisah Ramayana dan di dalam candi terdapat patung dewa, seperti Siwa, Brahma, Wisnu dan Ganesha.
Diperkirakan pada akhir abad 8 Masehi, atau awal abad 9 Masehi. Penguasa Jawa Tengah yang menamakan diri raja Mataram menganut agama Syiwa. Peninggalan terbesar atas kepenganutan agama mereka adalah kompleks candi Lorojonggrang di daerah Prambanan, sebelah timur Yogyakarta. Bangunan candi Lorojonggrang terdiri dari 3 bangunan candi utama yang diperuntukan bagi dewa Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Ketiga candi itu berhadapan dengan 3 candi yang lebih keccil. Keseluruhan candi dikelilingi oleh234 candi kecil. Ukiran-ukiran candi Syiwa diambil dari kisah Ramayana, sedangkan candi Lorojonggrang dimaksudkan sebagai tempat pemakaman bagi raja-raja Mataram. Selain itu, barangkali kompleks candi-candi itu juga untuk memenuhi fungsi sebagai candi kerajaan. Dengan demikian, kedua fungsi itu, sebagai pemakaman dan candi kerajaan, menandakan kekhasan Hinduisme dan Budhisme yang hidup dan berkembang dalam kebudayaan Jawa saat itu.
Kemegahan dan keperkasaan Jawa Tengah sebagai pusat kekuasaan kerajaan Mataram Kuno pada abad ke 10 M bergeser ke Jawa Timur, ke lembah sungai Berantas. Kota-kota pelabuhan seperti Tuban dan Gresik menjadi tempat yang ramai karena dipadati para pedagang yang datang dari berbagai daerah.
Pada akhir jaman Hindu-Budha, semangat  menjawakan itu semakin berjaya. Setelah unsur-unsur berharga dari Hinduisme dan Budhisme ditampung, unsur-unsur itu dijadikan wahana bagi paham-paham Jawa asli seperti penghormatan kepada nenek moyang, pandangan-pandangan tentang kematian dan penebusan atas kesalahan atau dosa, kepercayaan kepada kekuasaan kosmis, dan mitos-mitos dari para pendahulunya. Dengan ungkapan yang lain, agama dan kebudayaan impor diresapi oleh kebudayaan Jawa sampai menjadi ungkapan dan identitas Jawa sendiri.
Tradisi budaya yang begitu berterima terhadap hal-hal baru pada masyarakat Jawa membawa dampak pada sikap yang tidak serta merta memperlihakan perlawanan ketika perbuatan baru muncul. Setidaknya inilah yang terjadi ketika Islam mulai merambah dunia perpolitikan Jawa saat itu. Dua tahun setelah Hayam Wuruk mangkat, pada tahun 1401 Majapahit mulai nampak runtuh karena terpecah dalam suatu perang saudara, yaitu perebutan kekuasaan antara Wikrama-Wardana dengan Bhre Irabumi. Perpecahan berlangsung selama lebih dari 10 tahun. Setelah Bhre Wirabumi meninggal,  perpecahan di kalangan istana terjadi lagi dan berlarut-larut, hingga akhirnya Majapahit diserang Girindawhardana dari Kediri pada tahun 1468 M.
Setelah itu, yang berhubungan dengan kerajaan Majapahit tidak ada yang mengetahui secara pasti, sampai pada timbulnya serangan dari kerajaan Demak yang menganut agama Islam pada tahun 1475 M. Di awal abad ke-16 M, jejak kerajaan Majapahit tidak dpaat lagi ditemukan. Alam Jawa kemudian berganti suasana dengan berdirinya kerajaan Islam pertama, Demak pada tahun 1518 M. Raja demak pertama Raden Patah, memiliki pusaka kerajaan Majapahit karena ia memang masih memiliki hubungan darah dengan raja Majapahit, karena ia putra Brawijaya V atas pernikahannya dengan putri dari Campa.
2.      Kerajaan Islam Demak
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi kerajaan majapahit. Hal itu memberi peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuatan yang independen. Di bawah pimpinan sunan Ampel Denta, para ulama sebagai pemimpin spiritual dan sosial yang dikenal dalam sejarah sebagai walisongo (sembilan wali) bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama yang mengangkatnya itu. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah Majapahit yang diberikan Raja Majapahit (Brawijaya V) kepada Raden Patah. Daerah ini lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan oleh para Wali.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan, ia adalah seorang anak raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa. Ia digantikan oleh anaknya, Sebrang Lor yang dikenal juga dengan nama Pati Unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurut Tome Pires juga, tidak lama setelah naik tahta, Pati Unus merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangant perangnya semakin memuncak ketika tahu Malaka ditakluknyaoleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar pergantian tahun 1512-1513, tentaranya mengalami kekalahan besar.
Pati Unus kemudian digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai sultan oleh Sunan Gunungjati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam berkembang luas di seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Penaklukan Sunda Kelapa berakhir pada tahun 1527 yang dilakukan oleh pasukan gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan Tuban jatuh ke bawah kekuasaan kerajaan Demak diperkirakan pada tahun 1527 itu juga. Selanjutnya pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun, dan berturut-turut Blora (1530), Surabaya (1531), dan Pasuruan (1535). Antara tahun 1541-1542 Demak berhasil menundukkan Lamongan, Blitar, Wirasaba, dan Kediri. Tahun 1544, Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak. Sementara daerah Jawa Tengah bagian selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging, dan Pajang berhasil dikuasai berkat jalinan penguasa Demak dengan pemuka Islam, Sunan Tembayat. Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke Blambangan, Sultan Trenggono terbunuh. Ia kemudian digantikan oleh adiknya, Prawoto. Masa pemerintahan Prawoto tidak berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh adipati-adipati sekitar kerajaan Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Dengan demikian kerajaan Demak berakhir, dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah kekuasaan Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang.
Islam yang dibawa oleh ulama Sufi, dengan keberhasilan mendirikan kerajaan Jawa Islam Demak, berarti telah memegang kunci kekuasaan. Penyebaran Islam melalui peenguasa setempat ( kerajaan) membuat agama Islamsemakin cepat berkembang. Demak sebagai kerajaan jawa Islam yang mewarisi kebesaran kerajaan Hindu kejawen Majapahit memilik keagungan dan karisma yang kuat. Tradisi budaya kerajaan kejawen pun tidak ditinggalkan oleh kerajaan islam demak ini, ajaran mistiknya terus berjalan dan justru berkembang dengan ajaran-ajaran Islam, tasawuf. Ajaran mistik disampaikan lewat naskah-naskah yang diubah ke dalam bahasa Jawa, kebanyakan berbentuk sekar (puisi), macapat, isinya banyak mengungkapkan ajaran martabat tujuh. Ajaran martabat tujuh adalah suatu ajaran tasawuf yang ada dasarnya pengembangan dari Ibnu Arabi tentang paham pantheistis. Istilah-istiilah dalam ajaran tasawuf seperti itihad, hulul, fana, baqa, dan masih banyak lagi istilah tasawuf yang telah dijawakan, istilah Jawa yang muncul manunggal, nyuwiji,, pamor dll. Ungkapan-ungkapan tentang pengalaman mistik yang sering digunakan seperti: manunggaling kawulo-gusti, curiga manjing ing warangka, warangka manjing curiga, jumbuhing kawulo-gusti, pamoring kawulo-gusti. Ajaran miastik Jawa yang semula mengenal dewa-dewa, pemujaan dan penyembahan pada ruh-ruh, kemudian diislamkan, diperkenalkan bahwa Tuhan itu adalah Allah SWT. Upaya para wali untuk mengislamkan tradisi budaya Jawa dengan melakukan pembauran antara tradisi kejawen dengan unsur-unsur islam, ditunjang dengan kekuasaan kerajaan, atau istana yang menjadi sentral dakwah. Kerajaan Jawa Islam Demak inilah yang menjadi titik mula persentuhan tradisi budaya mstik Jawa dengan unsur-unsur mistik Islam.
F.      ANALISIS BUDAYA JAWA
Jawa pada masa pra Hindu-Budha sudah memiliki budaya yang berasal dari interaksi mereka terhadap lingkungan alam. Muncullah kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini semakin berkembang seiring masuknya agama Hindu-Budha. Dibuktikan adanya ritual sesajen untuk menyembah roh-roh nenek moyang. Selain itu, ada juga benda yang dipercayai memiliki kekuatan, seperti batu akik dan keris.
Budaya yang sudah ada saat itu tidak sepenuhnya hilang setelah kedatangan agama Islam di Jawa. Islam dating di Jawa menggunakan media dakwah yang sesuai dengan situasi dan kondisi kebudayan Jawa saat itu. Seperti metode dakwah yang digunakan oleh para Walisongo untuk menyebarkan agama Islam melalui kesenian wayang, Sunan Kalijaga. Dalam hal ini muncul perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Jawa dibawah kepercayaan Hindu.
Sampai saat ini, hasil budaya pada masa Hindu masih terlihat dengan adanya candi-candi yang tersebar di Jawa, seperti candi Gedungsongo, candi Prambanan, candi Dieng, dan lainnya. Tersebar pula bukti-bukti peninggalan adanya perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu, seperti yang tampak dari Masjid Menara Kudus yang memiliki relief mirip dengan candi Hindu.
G.    KESIMPULAN
Peninggalan museum yang dilihat meliputi gambar dan miniatur Candi Gedung Songo, Candi Prambanan, Candi Dieng, Masjid Menara Kudus, dan Masjid Demak.
Candi Gedung Songo terletak di puncak gunung Ungaran, kecamatan Sumowono, Semarang, Jawa Tengah. Candi Prambanan terletak di desa Prambanan, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi Dieng merupakan kumpulan candi yang terletak di kabupaten Banjarnegara-Wonosobo Jawa tengah. Masjid Menara Kudus terletak di desa Kauman, kecamatan Kota kabupaten Kudus Jawa Tengah. Masjid Demak terletak di desa Kauman, kabupaten Demak Jawa Tengah. Persamaan dari peninggalan-peninggalan yang ada yaitu pada segi manfaat, yang masih dijadikan sebagai tempat wisata sekaligus untuk mengetahui bukti fisik dari peninggalannya.

DAFTAR PUSTAKA
Khalil, Ahmad, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Khalim, Samidi, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: RaSAIL, 2008.

Rabu, 24 April 2013

islam budaya jawa



MAKALAH
KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Islam dan Kebudayaan Jawa
yang diampu oleh: M.Rikza Chamami, MSI


Disusun Oleh :
Muflihah                                (113911005)
Puji Arianti                            (113911007)
Machya Afiyati Ulya            (113911025)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM
I.                   PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Dia tidak cukup hanya mencari makanan, pakaian, dan perumahan, walaupun kebutuhan material ini penting. Manusia membutuhkan keyakinan atau sesuatu yang dipercayai.
Suku-suku bangsa Indonesia dan khususnya suku Jawa. Sebelum kedatangan Hinduisme telah hidup teratur dengan religi animisme dan dinamisme yang dijadikan akar spiritualitasnya, dan hukum adat yang mereka jadikan sebagai pranata kehidupan sosial mereka.Religi animisme-dinamisme merupakan akar budaya yang dimiliki bangsa Indonesia khususnya suku Jawa, sehingga mampu berdiri kokoh walaupun mendapat pengaruh dan harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan yang telah berkembang maju.

II.                PERMASALAHAN
A.    Bagaimana masa pra sejarah jawa ?
B.     Bagaimana tentang kepercayaan animisme jawa ?
C.    Bagaimana tentang kepercayaan dinamisme jawa ?

III.             PEMBAHASAN
A.    Masa Pra Sejarah Jawa
Jawa adalah sebuah pulau dari kepulauan Indonesia yang paling padat penduduknya, yang terbagi ke dalam beberapa daerah diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Djogjakarta dll. dan di setiap daerah mempunyai karakter budaya yang berbeda;, tetapi perbedaan itu tidak begitu jauh karena dilahirkan masih dalam satu kepulauan yaitu pulau Jawa.
Masyarakat jawa dipercaya memiliki kebudayaan khas dan hubungan erat. Masyarakat jawa atau wong jowo menunjuk pada masyarakat yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang-orang yang menjujung tinggi sifat-sifat luhur dan kebudayaan. (termasuk berbagai macam seni, sastra dan kepercayaan) yang dimiliki oleh masyarakat jawa. Hal ini meliputi mereka, baik secara geographical maupun anthropological, termasuk bagian dari suatu bangsa atau daerah tertentu, maupun mereka yang keterkaitannya dengan kebudayaan jawa hanya bersifat ideological (yaitu orang Belanda, Inggris, atau bangsa lainnya yang mendukung kebudayaan jawa). Masyarakat yang geographical atau anthropological termasuk bagian dari jawa, tetapi tidak atau belum memiliki sifat-sifat luhur dan tidak atau belum menjujung tinggi kebudayaan jawa sehingga sering kali disebut dengan istilah durung jawa, orang jawa dulu jawa dan lain-lain. Dalam konteks Indonesia, kebudayaan jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena dimiliki arti penting bagi kebudayaan jawa karena mayoritas masyarakat jawa memeluk agama Islam, dengan demikian hubungan nilai-nilai Islam dengan kebudayaan jawa menjadi menarik karena keberadaan Islam dan kebudayaan Islam dan kebudayaan jawa yang cukup dominan pada bangsa Indonesia.
Jauh sebelum Islam datang masyarakat jawa telah memiliki pandangan hidup yang cukup mapan. Dalam bidang keagamaan masyarakat jawa pra Hindu telah memiliki kesadaran keagamaan. Kesadaran keagamaan tersebut tampak pada keyakinan masyarakat jawa terhadap kekuatan-kekuatan adikodrati yang dapat mengatasi segala hal. Keyakinan ini mengantarkan masyarakat jawa pada kesadaran religiusitas.
Masyarakat jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yang diikuti oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada cirri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan.
Sistem hidup kekeluargaan di jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat jawa. Jika kita memperhatikan kosa kata kekerabatan, nampaklah istilah yang sama dipakai untuk menyebut moyang, baik dalam tingkat ketiga maupun keturunan pada generasi ketiga, dengan menggunakan acuan kata “aku”, jadi buyut bias berarti ayahnya kakek maupun anaknya cucu, dan seterusnya (wareng, udeg-udeg, gantung, siwur, gropak sente,debog bosok).sampai generasi kesepuluh dimana galih asem dapat menunjukkan baik nenek moyang maupun keturunan jauh. Dengan demikian seluruh susunan kerabat secara berurutan tak terhingga dapat terbayang dalam cermin yang berhadapan.
Di Jawa anak-anak sering dibesarkan oleh saudara-saudara, orang tua mereka bahkan oleh tetangga, dan anak acap kali diangkat. Hokum adat menuntut setiap orang laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja untuk membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu, seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, dan yang lainnya semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan mendasar. Tanah lahan pertanian sampai waktu panen diselenggarakan secara gotong royong, saling menolong. Hal ini masih berlaku pada saat ini dalam system musyawarah adat desa yaitu disebut renbug desa.[1]
B.     Kepercayaan Animisme Jawa
Seperti lazimnya manusia yang hidup di tengah alam yang bebas para penghuni pulau jawa adalah para yang handal di alam belantara. Mereka hidup mangandalkan ketahanan fisik dan keberaniannya dalam berjuang melawan keganasan alam. Mereka memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan berburu binatang di hutan, ditengah kehidupan yang alamiah ini mereka mempelajari panas dan dingin, hujan dan kekeringan, angin dan badai, terang dan gelap, dan semua yang terjadi menjadi perhatian mereka secara natural. Dengan terus menerus mempelajari gejala alam serta kekuatan yang tersembunyi di baliknya, akhirnya mereka mampu mengenal dan memahami kekuatannya sendiri.
Dari pergaulannya secara langsung dengan kekuatan alam itu timbullah pemahaman baru di kalangan orang jawa, bahwa setiap gerakan, kekuatan dan kejadian di alam ini disebabkan oleh makhluk-makhluk yang di ada di sekitarnya. Anggapan adanya kekuatan alam dan roh makhluk halus itu disebut dengan animisme.
Keyakinan animisme dalam masyarakat ini, menurut penjelasan Suyono terbagi dalam dua macam yaitu fetitisme dan spiritisme. Fetitisme adalah pemujaan kepada benda-benda berwujud yang tampak memiliki jiwa atau roh, sedangkan spiritisme adalah pemujaan terhadap roh-roh leluhur dan makhluk hidup lainnya yang ada di alam ini.[2]
Ciri-ciri khas animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan roh-roh dan daya ghaib yang bersifat aktif. Prinsip roh aktif adalah kepercayaan animisme mengajarkan bahwa roh-roh yang mati tetap hidup dan mempunyai kekuatan seperti dewa, yang dapat menyelamatkan seseorang bahkan sebaliknya. [3]
Ada juga yang mengatakan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan bahkan pada manusia itu sendiri. Mereka menganggap roh-roh itu mempunyai kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, sehingga mereka menyembahnya dengan cara melakukan upacara yang disertai dengan penyajian sesaji.
Pertama, pelaksanaan upacara dilaksanakan masyarakat jawa adalah agar keluarganya terhindar dari roh yang jahat. Arwah nenek moyang dianggap lebih sakti dan banyak pengalaman, sehingga mereka beranggapan perlu dimintai petunjuk dan berkah. Sebagai kelengkapan upacara mereka menyiapkan sesaji serta membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya.
Kedua, pemberian sesaji atau sesajen yang ditujukan kepada mbahe, danyang yang berdiam di pohon-pohon besar atau di sendang-sendang, di kuburan tua dari tokoh-tokoh terkenal pada masa lampau atau tempat tersebut merupakan tempat yang dianggap angker. Agar dapat menarik roh-roh tersebut mereka memasang sesaji berupa makanan dan bunga. Semua itu dilakukan hanya memohon perlindungan dari yang mbahureksa supaya terhindar dari makhluk halus yang jahat.[4]
Dalam religi jawa ini juga terdapat adanya kepercayaan bahwa manusia mampu mengadakan kontak langsung dengan alam arwah. Bahkan manusia mampu mengendalikan alam arwah tersebut, menggunakan kekuatan ghaib untuk kepentingan duniawiyah dan spiritual mereka. Bentuk kontak dengan roh bagi masyarakat jawa diekspresikan dengan adanya upacara-upacara ritual pemuja terhadap sesuatu yang dianggap keramat. Upacara ritual tersebut diwujudkan dengan adanya perlengkapan upacara yang berupa sesaji, pembacaan mantra-mantra dan menggunakan mediator dukun atau orang-orang yang dianggap memiliki tingkat kemampuan spiritual tertentu.[5]
Keyakinan semacam itu terus terpelihara dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa, bahkan hingga saat ini masih dapat  disaksikan berbagai ritual yang jelas merupakan peninggalan zaman tersebut. Keyakinan yang demikian dalam kepustakaan budaya disebut dengan “kejawen”, yaitu keyakinan atau ritual campuran antara agama formal dan keyakinan yang mengakar kuat di kalangan masyarakat jawa. Sebagai contohnya, banyak orang yang menganut agama Islam, tapi dalam prakteknya keberagamaannya tidak meninggalkan keyakinan warisan nenek moyang mereka. Hal itu bisa saja karena pengetahuan mereka yang dangkal terhadap Islam atau bisa juga itu memang berkat dari hasil pendalamannya terhadap keyakinan warisan tersebut dan Islam secara integral.[6]

C.    Kepercayaan Dinamisme Jawa
Masyarakat jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun  adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari  kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati di balik semua kekuatan alam itu. Selanjutnya, sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Hal ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan.
Usaha yang ditempuh adalah dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur), mutih (hanya makan makanan yang serba putih seperti nasi putih, minum air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar, tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni, yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak melihat sinar apapun selama empat puluh hari empat puluh malam. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat, yakni berupa  keris, tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan.
Adapun pada agama “primitif” sebagai “agama” orang Jawa sebelum kedatangan agama hindu ataupun agama Budha, inti kepercayaannya adalah percaya pada daya kekuatan-kekuatan ghaib yang menempati pada setiap benda (Dinamisme) serta percaya kepada roh-roh ataupun makhluk halus yang menempati pada suatu benda ataupun makhluk-makhluk halus yang menempati pada ataupun berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, baik benda hidup maupun mati (Animisme).

1.      Tinjauan Ekonomi

Masyarakat Jawa lama dalam menggali ekonomi masih banyak yang menjalankan tradisi golek pasugihan, dimana ada pendukung atau masyarakat yang banyak dan kuat, banyak pula tempat-tempat yang dikeramatkan dan dianggap bermanfaat untuk mencari ketenangan dalam rangka mencapai inspirasi, intuisi, dan aspirasi untuk memulai suatu pekerjaan, tempat-tempat yang dimaksud seperti Gunung Srandil, gunung Kemukus, gunung Kawi, Cunung atau makam sewu, Parang Tritis di Bantul dan sebagainya.
Maka pentingnya bukan pada tempat itu sendiri, tetapi dari segi ekonomi tempat itu memberikan inspirasi, intuisi, dan aspirasi untuk suatu usaha dan lebih-lebih bagai usaha ekonomi yang memerlukan keuletan dan pengetahuan pemasaran yang luas, disamping itu manajemen dan perhitungan yang luas dan jangka panjang serta lain-lainnya. Tempat-tempat itu mempunyai ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan suasana yang dihadapi seseorang setiap harinya, hal ini karena tempat-tempat  tersebut mendukung suasana alamiah, suasana pedesaan, suasana sungai sepi, angker, dan khidmat, suasana yang mengingatkan jasa dan kenangan seorang pahlawan, nenek moyang atau tokoh yang dikagumi, yang itu semua dapat memberikan dan membangkitkan  inspirasi, intuisi, dan apresiasi. Hal itu menimbulkan daya dorong yang kuat untuk belajar dan bekerja dengan sungguh-sungguh sehingga seseorang sukses dalam melakukan usahanya, termasuk belajar, bekerja dan berusaha.[7]

1.      Tinjauan Kesenian

Dibidang kesenian, wayang merupakan identitas utama orang Jawa. Pertunjukan wayang berasal, atau setidaknya terpengaruh oleh pertunjukan Tonil India purba yang disebut Chayanarata (seperti pertunjukan bayang-bayang). Wayang melekat dalam kehidupan manusia Jawa karena wayang merupakan ciptaan  asli orang Jawa.
Banyak tokoh-tokoh asing yang mengamati tentang pewayangan seperti Niels Mulder, B. Scrick.W.H. Rasers, Cliford Geertz, Benedict R.O.G. Anderson, Howard P dll. perhatian pengamat-pengamat barat dan budaya Jawa boleh dikatakan telah bermula sejak mereka menginjakkan kaki di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.[8]
Menurut Nicolas.J. Krom, dalam bukunya Hindoe Jaraansche Geschidenis menyebutkan adanya beberapa unsur karakteristik  kedatangan orang Hindu di Jawa, yang sudah ada sebelum kedatangan orang hindu di Jawa, diantaranya:
1.      Sistem irigasi terhadap padi sawah;
2.      Proses pembuatan kain batik;
3.      Gamelan;
4.      Pertunjukan wayang
Unsur-unsur budaya yang disebutkan oleh Krom ini agaknya memang begitu mendasar dan tetap berlanjut sampai saat inipun keempat unsur budaya tersebut masih tetap memberi ciri karakteristik budaya Jawa, meskipun sekarang dapat pula kita temukan pada kebudayaan-kebudayaan daerah lain, bahkan negara lain.
Dalam hubungan ini perlu  kita catat pendapat  Herry Aveling yang menyebutkan bahwa  sampai dengan akhir abad ke- sembilan belas, kehidupan intelektual, kultural dan  emosional etika Jawa masih tetap terpusat pada unsur-unsur  budaya yang mengakar kuat ke masa lalu, , yaitu:
1.      Kesusastraan yang memang memiliki daya pelestari  yang kuat terhadap gaya kebudayaan tradisional  Jawa.
2.      Pertunjukan wayang yang saat ini telah begitu berkembang dan diperhalus.
3.      Batik sebagai ekspresi seni yang halus dan indah.[9]

IV.             KESIMPULAN
Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Jawa pra Islam menganut dua kepercayaan yaitu animisme dan dinamisme.
Dinamisme adalah percaya terhadap kekuatan alam atau benda-benda alam seperti batu, matahari, hujan, angin. Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasa perih ing batin dengan cara berpuasa mutih, ngasrrep.
Animisme yaitu percaya terhadap roh nenek moyang dengan cara mengadakan upacara dengan menyiapkan sesaji dan bau-bauan seperti kemenyan.
Adapun dengan kepercayaan animisme dan dinamisme mempunyai dua tinjauan yaitu:
1.      Tinjauan ekonomi seperti mencari pesugihan
2.      Tinjauan

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun, semoga dapat bermanfaat, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan agar makalah kami yang ke depannya bisa lebih baik. Dan kami mohon maaf sapabila terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah kami.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darori, Islam & Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000.
Harjono, Saitersno Prawiro, Prinsip Ekonomik Dalam Masyarakat Jawa.
Khalil, Ahmad, Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa, Malang: Sukses offset, 2008.
Sofwan, Ridin, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Semarang: Gama Media, 2004.
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Price, 1992.
Syukur, M. Amin, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group, 2008.

BIODATA

Nama                                       : Muflihah
NIM                                        : 113911005
Jurusan/Prodi                          : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah
Tempat, Tanggal Lahir            : Pati, 24 Maret 1993
Riwayat Pendidikan               : RA Masyithoh Desa Prawoto
              MI Al-Mu’min Desa Prawoto
  MTs Sunan Prawoto Desa Prawoto
  MA NU Banat Kudus
  S1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                                                : Dk. Domasan Rt 2 Rw 3 Ds. Prawoto Kec. Sukolilo
  Kab. Pati
Phone number                        : 085740280470
e-mail                                      : iazzahra43@yahoo.com
facebook                                 : chikaa slalu tersenyum

Nama                                       : Puji Arianti
NIM                                        : 113911007
Jurusan/Prodi                          : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah
Tempat, Tanggal Lahir            : Bojonegoro, 29 Juni 1993
Riwayat Pendidikan               : SDN Sumberharjo 1
                                                  MTs I AtTanwir Bojonegoro
                                                  MA I AtTanwir Bojonegoro
                                                  S1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                                      :Dk. Pohkuwong RT. 22 RW 7 Ds. Sumberharjo Kec.   Sumberrejo Kab. Bojonegoro Jatim
Phone Number                        : 085730924644
E-mail                                      : Pujiarianti@yahoo.com
Facebook                                 : Pj Rianty
                                     
Nama                                       : Machya Afiyati Ulya
NIM                                        :113911025
Jurusan/Prodi                          : Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah
Tempat, Tanggal Lahir            : Grobogan, 2 Maret 1994
Riwayat Pendidikan               : MI Manba’ul Ulum Karanglangu Grobogan
                                                  MTs N Jeketro Grobogan
                                                  SMA N 1 Wonosegoro Boyolali
                                                  S1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                                                : Dk. Kijingan Rt/ Rw 02/04 Klitikan Kedungjati
  Grobogan
Phone number                        : 085799904919
e-mail                                      : auliagrandiscapudica@rocketmail.com
facebook                                 : Mahya Aulia G C


[1] Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000, hlm. 4.
[2] Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa, Malang: Sukses offset, 2008, hlm. 44-45.      
[3] Ridin Sofwan, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Semarang: Gama Media, 2004, hlm. 17-20.
[4] Darori Amin, Islam & Kebudayaan Jawa, Semarang: Gama Media, 2000, hlm. 5-8.
[5] M. Amin Syukur, Islam dan Spiritualitas Jawa, Semarang: Rasail Media Group, 2008, hlm. 45.
[6] Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme Etika dan Tradisi Jawa, Malang: Sukses offset, 2008, hlm. 45-46.
[7] Saitersno Prawiro Harjono, Prinsip Ekonomik Dalam Masyarakat Jawa, hlm. 11-13.
[8] Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang : Dahara Price, 1992, hlm. 19-20.
[9]Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang: Dahara Price,  tahun 1992, hlm. 24-25.